/ 2009-02-09

DIKLAT JURNALISTIK (DJ) 2009 HMTI UGM

Menjadi "wartawan" dalam 4 hari.

Rampung juga acara kejurnalistikan itu. Acara unik yang berlangsung dari tanggal 4 Februari kemarin hingga kemarin, 7 Feb. Berlangsung di plasa KPTU yang berdiri di tengah - tengah kamupus teknik. Bayarnya sih lumayan, 80.000 untuk mahasiswa teknik industri dan pelajar, 100.000 untuk kalangan diluar itu.



Acara yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Industri (HMTI) UGM mengundang tim diklat KOMPAS yang didatangkan langsung dari Jakarta. Sebut saja Pak Santoso. Beliau adalah pimpinan Tim Diklat tersebut. Ada juga Pak Markus atau yang lebih dikenal sebagai Pak Sancuk, seorang wartawan senior koran kompas. Pak Bobby, wartawan senior KOMPAS yang kini sudah masuk masa pensiunnya ikut dalam rombongan tim itu. Dan terakhir ada seorang fotografer tapi aku lupa namanya.



Tim diklat KOMPAS memberikan banyak ilmu kewartaan, seperti penulisan berita, layout koran, dan teknis - teknis dalam penulisan koran. Peserta diklat kemudian dipecah menjadi beberapa grup dimana akan diperuntukkan untuk bekerja sama untuk membangun sebuah koran, walaupun hanya satu halaman. Kami diharuskan untuk terjun ke lapangan untuk mengisi berita untuk masing - masing koran kami.

Ada yang ke Sekaten, ada yang berbicara tentang ribut - ributnya HMI kemarin, ada yang membahan pencalonan Sultan, beragam. Semua dituntut untuk mencari berita seaktual mungkin. Dan semua, benar - benar harus melebur seperti wartawan sungguhan, yakni mengedepankan wawancara. Bukan hanya mengedapankan sebenarnya, tapi justru, kata Pak Sancuk, wartawan tidak boleh memberikan opini dalam berita, semua harus fakta. Tidak boleh ada intervensi dari wartawan, dan wartawan tidak boleh berat sebelah.

Banyak peserta yang di kritik, dan banyak pula yang disanjung. Sebut saja yang membahas pencalonan Sultan tadi. Ia dikritik karena yang ia wawancarai atau narasumbernya adalah pedagang ronde. Sebenarnya tidak mengapa, tapi rasanya kurang relevan dan masih terlalu awam, tukas Pak Sancuk. Ada yang membahas tentang fatwa rokok, apalah itu. Ia mendapat perhatian karena bisa dan berani mewawancarai langusung ketua bidang fatwa MUI Jogja.

Hari terakhir cukup mendebarkan. Kami harus membuat koran, termasuk tentang tata letak. Cukup susah juga memadukan antara tulisan, foto, dan luas bidang. Pak Robby berpesan, "Fitting news to the layout, jangan Fitting layout to news, gak akan jadi dalam sebulan". Ada berita - berita yang mesti dipotong karena kepanjangan, ada juga yang mesti ditambah karena kependekan.



Maka jadilah koran kami, untuk pertama dan terkahir kali terbit pada tanggal 7 Februari kemarin. Cahaya Jogja, atau kami menyebutnya CAH-JOGJA. Koran kami bertengger di urutan keempat dari deretan koran terfavorit versi dewan juri. Hanya berselisih satu point dari juara ketiga, mereka 165 kami 164. Tapi tak mengapalah. Yang penting kami sudah mampu bikin koran, sudah mampu mencari berita beneran, dan sudah mendapatkan ilmu yang pertama kali aku dapat sepanjang aku pernah bernafas.

Tertarik ?. Tunggu saja DJ berikutnya, karena ini adalah yang keempat dan empat kali pula bersama tim diklat KOMPAS. So, don't miss it.

Posting Komentar

Tidak ada komentar: