/ 2011-02-07

HUJAN DI SENJA SELASA

hujan di senja selasa
membasahi rindu yang belum rampung
kabut turun di tepian jiwa
membekap hati seakan terkurung

lebat betul hujan senja itu
menggelegarkan kilat menyambar pilu
di pelupuk galau di tengah rindu
hujan membikin hati kian beku

masih lebat hujan di senja selasa
mengoyakkan rindu menjadi puing
hujan bertaut memercikkan bara
membakar puing menjadi hening

hujan turun di ujung senja
kian lebat kian gemericik
melarutkan pedih dalam asa
aku terpaku dalam pelik

Yogyakarta, 7 Februari 2011
di senja senin bersama hujan.

/ 2011-02-02

NILAI T

Sebuah nilai yang tidak memiliki value.

Memiliki nilai T adalah bukan sebuah dambaan bukan juga sebuah harapan. Nilai T jauh lebih tidak mengenakkan jika dibandingkan si nilai “sisir raja tega” E. Mister E adalah sebuah penggambaran angka bundar nol, sedangkan T pengambaran bahwa nilai tidak keluar. Dalam statusnya, jika mengantongi si sisir, seorang mahasiswa masih dapat mengikuti agenda remidiasi a.k.a ujian perbaikan nilai, sedangkan T tidak. Bilamana seseorang dengan status “te” ingin mendapatkan nilai yang lebih baik, jelas sudah baginya untuk memperdalam kembali kuliah tersebut pada semester depan alias mengulang.

Dari informasi yang saya dengar, huruf “te” itu akan muncul bilamana seseorang mahasiswa tidak bertandang ke ruang ujian ketika menjalani fase Ujian Akhir Semester (UAS). Di luar kondisi itu, misalnya enggan mengumpulkan tugas dan kerap tidak hadir pada jam kuliah, sang juru nilai (mungkin) masih memberikan ‘ampunan’ dengan memberikan nilai meskipun menyakitkan.

Dan saya baru saja melihat penampakan huruf tak bernilai itu pada kolom ‘nilai’ kartu hasil studi saya. Dan saya menyapa: “Selamat malam, mister T. Selamat bergabung dan menjadi bagian dalam daftar ‘keseleo’-nya otak saya”.

Dan saya masih terus dalam derai tawa jika melihat tampang dua garis yang saling meng-intercept itu.


Saya bangga telah menggandeng huruf keramat itu. Sebuah momen yang mungkin tidak akan saya lupakan di kemudian hari. Huruf itu mungkin akan bertranformasi setahun lagi, tapi nyeri serpihan durinya masih akan terasa hingga saya mulai pikun nanti.

Entah apa mungkin yang akan diucapkan orang tua saya jika saya memamerkan pencaipan bobrok ini ke depan muka mereka. Benarkan akan menjadi coreng hitam di kedua pipi bapak saya? Ataukah ini akan menjadi sebuah aib dan cibiran bagi keluarga saya?

Tapi tunggu dulu, mengapa saya justru tertawa bangga?


Manusia terbagi menjadi tiga golongan gara – gara adanya sebuah nilai. Pertama, dosen (juru nilai) yang bertugas menempelkan nilai kepada seseorang. Kedua, mahasiswa (yang dinilai) sebagai orang yang ketar-ketir membuka mata dan telinga ketika melihat nilai. Dan terakhir orang tua mahasiswa (sebagai pihak ketiga) yang berlakon menjadi seseorang yang menyikapi nilai hasil penilaian orang lain.

Di sudut manakah saya perpijak sekarang?


Hidup itu indah, kawan. Hidup juga layaknya sebuah roda, kawan. Dan kita adalah kutu yang tak sengaja hinggap pada roda tersebut. Terkadang kita dapat menikmati sejuknya angin ketika berada dalam posisi puncak, dan mau tak mau kita harus terjepit ketika roda saling bercumbu dengan tanah.


Saya adalah manusia yang sedang menjalani usia 21 tahun. Tak lama lagi, saya akan memanggil orang tua pacar saya dengan sebutan ‘mertua’. Saya juga sedang menjadi bagian mahasiswa yang sedang memulai langkah pertamanya dalam ranah per-skripsi-an. Tak lama lagi, saya akan segera berseragam serba hitam sambil berfoto sembari tersenyum – senyum atau kata orang itu disebut wisuda. Ada mertua, ada wisuda. Dalam teropong waktu, saya melihat diri saya yang sedang menyanyikan lagu Nina Bobo di samping anak laki – laki pertama saya.


Apakah yang akan saya katakan kepada anak saya yang sedang menggambar sebentuk corengan lingkaran obat nyamuk dijidat saya dengan nilai huruf “te”-nya nanti ?

‘Bijaksanalah wahai ayah. Ayah juga pernah kena ranjau yang sama dengan saya dua setengah dekade yang lalu. Ayah juga pasti sudah pernah merasakan cacian kakek dan nenek kala itu. Ayah juga pasti mendapatkan tawa cemoohan orang lain yang amat senang melihat ke-tidak suksesan ayah kala itu. Jadi, ayah pasti sudah mengerti bagaimana rasanya tajamnya duri huruf T ini ….’


Selamat malam duhai huruf penuh luka
kau cambuk dada ini dengan bara
tapi kau ciptakan sebuah makna
bangkit! Jangan dibuai dan terlena
bangkit! Jangan terpuruk dalam duka

Selamat malam duhai huruf penuh luka
Wajahmu mungkin sudah ku lupa
Namun perihnya masih terasa



di bawah mega abu – abu, tujuh menit lewat tengah malam.
Yogyakarta, 1 Februari 2011.

dibuat dalam event Kompetisi Blog EEC UGM.