Raga kota rasa pelosok.
Ada yang kering di ladang hati ini. Ya, begitulah saya terus berkomat - kamit ketika akan berpisah dari warga dusun Gelogor, Desa Lendang Nangka, Kabupaten Lombok Timur beberapa tahun silam. Mendadak saya mulai merindui sesuatu; saya perlahan merindui senyuman dan aroma nakal para murid - murid SD Negeri 9 Lendang Nangka itu.
Bersama tim KKN mahasiswa UGM, saya memicingkan mata ketika masuk di gerbang desa tempat dimana saya akan bergulat dengan masyarakat dua bulan ke depan. Di benak saya, mula - mula, pikiran saya hanya dipenuhi oleh program kerja yang sangat lumrah menjadi tren mahasiswa KKN : mengecat kantor desa, bikin tugu, dan hal - hal sepele yang sangat tidak punya nilai tambah di masyarakat.
Tapi, ketika saya bertemu dengan gedung sekolah itu, sepertinya ada energi baru ingin melesak.
Saya bukan mahasiswa yang akan bertitle S.Pd., tapi saya terlampau nekat ingin sekali meluangkan waktu untuk menjadi pengajar 'dadakan'. Kagok, itu sudah barang pasti. Tapi anak - anak itu terus menerus melempar senyum kepada saya.
Suasana ketika saya sedang menyampaikan materi dengan laptop di mushola sekolah, karena sebagai satu - satunya tempat yang kondusif untuk belajar dengan interaksi. |
"Sekali lagi! Sekali lagi, kak!", itulah yang selalu terucap jika saya ingin menyudahi sesi mata pelajaran yang mampu saya ampu : IPA. Mereka terus merengek ingin diputarkan kembali video - video hasil jarahan dari situs populer Youtube yang berisikan tentang penerapan ilmu - ilmu IPA secara konkret di kehidupan nyata. Jangan tanyakan kenapa masyarakat pelosok (terlebih anak - anak) sangat antusias jika diberikan model pembelajaran seperti itu.
Saya dan pak guru pun berbagi jam alokasi pelajaran IPA yang dua kali seminggu itu. Kami pun sama - sama mendapat jatah satu kali seminggu untuk masuk memberikan materi Ilmu Pengetahuan Alam.
Terkadang, saya menyisipkan sebuah klip mini yang bisa mengundang gelak tawa mereka; itu saya lakukan bila saya sudah kehilangan gairah dan konsentrasi anak - anak itu. Mereka kembali mengerubung perangkat komputer jinjing saya dan langsung melahap apa yang disajikan dalam klip video itu. Di akhir, mereka pun tertawa, lepas. Lagi - lagi, gelak tawa itu yang mengundang spirit mengajar saya untuk hidup kembali.
Video - video itu menjadi amunisi bagi saya agar mendapat perhatian mereka; itu pada mulanya. Namun, lambat laun, mereka menanam rasa simpati mereka meskipun itu di luar jam sekolah. Menyapa, mencari, bahkan tidak sedikit yang menggoda. Ketika mereka memiliki jam untuk pelajaran IPA, mereka bahkan mencari saya, hingga ke pondokan (rumah tempat tinggal ketika KKN-red). Padahal mereka tahu, jam tersebut bukan milik saya, melainkan guru kelas mereka.
Dengan jas almamater kebanggan, teman saya menyampaikan materi pelajaran. |
"Kalian mungkin adalah semangat baru bagi mereka, ini adalah mahasiswa UGM pertama yang sudi menyambangi dusun kami dan tentunya sekolah ini", begitu kira - kira yang diucapkan oleh ibu kepala sekolah di sela - sela kami bertukar pikiran.
Sejenak, ketika saya tengah merenung saat mengajar, saya perhatikan wajah - wajah polos itu yang seolah - olah mengumbar sebuah pertanyaan : salahkah kami ini yang berada di pelosok?. Mereka haus akan realita. Mereka lapar akan cerita. Mereka giat bila bicara tentang kota. Dan mereka ingin juga memiliki cita - cita.
Untuk tertawa lepas saya mereka serasa dicekat. Bahkan, jika cerdas cermat pun, mereka selalu menyandang gelar 'pemeriah acara'; yang dipastikan akan kandas di babak awal. Pecundang? Saya rasa tidak, hanya saja mereka dibalut dalam hidup yang serba pas - pasan. Secara pribadi, saya justru berkeyakinan bahwa mereka tidak butuh mata pelajaran itu. Mereka hanya butuh tertawa dan tersenyum.
Guru - guru itu sangat antusias terhadap kami. Bahkan mereka sangat memberikan kami kelonggaran untuk sering - sering masuk ke dalam kelas. "Pengalama baru", begitu ujar salah seorang guru kepada kami. Ya, tentu saja sebuah pengalaman baru untuk kami, si mahasiswa bukan jalur keguruan. Dan menjadi pengalaman yang cantik kepada murid - murid karena belum pernah ada satupun orang dari tanah Jawa yang bersedia turun ke belantaranya daerah mereka.
Guru - guru itu mungkin tidak juga seberuntung saya. Yang bisa bebas menghirup aroma tanah Jogja yang punya seribu warna. Yang menjadi kiblat dunia pendidikan tanah air. Bahkan ketika saya berikan materi dengan media digital saja, anak - anak tersebut sudah terpana.
Menjadi pendidik, akhirnya bukan sebatas mengajar dan men-trasfer materi. Menjadi pendidik untuk pelosok butuh semangat, imajinasi, cita - cita, hingga harapan. Menjadi pendidik juga butuh pengalaman dan wawasan. Agar ada cerita yang dapat membesarkan hati mereka, agar ada kisah yang memacu semangat mereka.
Deretan senyuman dari anak - anak itu memberikan saya sebuah penyesalan : kenapa saya tidak memilih berkarir di dunia pendidikan (saja)?.
Saya dan sebagian murid - murid SD Negeri 9 Lendang Nangka di sore hari. Kami latihan gerak jalan. |
Saat ini, sudah hampir dua tahun saya menanggalkan diri sebagai mahasiswa KKN. Pagi itu saya beranjak dari Mataram menuju Lombok Timur, tempat dimana hati ini pernah terdampar. Seorang anak yang saya pernah kenal dulu itu kemudian menodong saya dengan sebuah pertanyaan : "kak affan, ya?". Lantas, gerombolan lain datang memberondong saya dengan tatapan. Saya kemudian hanya bisa berkata, "Ada rombongan mahasiswa KKN lagi yang mau datang, beritahu mereka apa rahasia kita kemarin". Mereka tersenyum bulat - bulat; mereka tahu apa yang saya maksud.
Ini adalah kali pertama saya mengecap menjadi pengajar. Tapi saya masih ingin lagi, bukan sekali lagi.
Tulisan ini diikut sertakan dalam Lomba Blog Sampoerna School of Education "Menjadi Pendidik" |